Thursday, July 31, 2003

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore.
Setiap hari, aku 'dipaksa' membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun.Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan.
Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu.
Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana.
Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya.
Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa.
Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya.
Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do'a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh dikakinya.
Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu.
Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.

Sunday, July 13, 2003

Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal Hidup.
Engkaulah tetes embun pertama yang menyesarkan dahagaku dalam Cinta tak bermuara.
Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara.

Kau hadir dengan ketiadaan...
Sederhana dalam ketidakmengertian.
Gerakmu tiada pasti.
Namun aku terus disini.
Mencintaimu.

Entah kenapa....

(Dee, Supernova I: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh)

Friday, July 04, 2003

Didalam ujian Fisika di Universitas Copenhagen seorang dosen penguji mengajukan pertanyaan kepada salah seorang mahasiswanya :
"Jelaskan bagaimana mengukur tinggi suatu bangunan pencakar langit dengan menggunakan sebuah barometer."
Mahasiswa tersebut menjawab: "Ikatlah leher barometer itu dengan seutas tali panjang, lalu turunkan barometer dari pucuk gedung pencakar langit sampai menyentuh tanah. Panjang tali ditambah panjang barometer akan sama dengan tinggi pencakar langit."
Jawaban yang luar biasa "orisinil" ini membuat dosen penguji begitu geram. Akibatnya si mahasiswa langsung tidak diluluskan.
Si mahasiswa naik banding, karena menurutnya kebenaran atas jawaban itu tidak bisa disangkal. Kemudian universitas menunjuk seorang arbiter yang independen untuk memutuskan kasus itu. Arbiter menyatakan bahwa jawaban itu memang benar dan tidak bisa disangkal, hanya saja tidak memperlihatkan secuil pun pengetahuan mengenai ilmu fisika.
Untuk mengatasi permasalahan itu, disepakati untuk memanggil si mahasiswa, dan memberinya waktu enam menit untuk memberikan jawaban verbal yang menunjukkan latar belakang pengetahuannya mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu fisika. Selama lima menit, si mahasiswa duduk tepekur, dahinya berkerut. Arbiter mengingatkan bahwa waktu sudah hampir habis.
Mahasiswa itu menjawab bahwa ia sudah memiliki berbagai jawaban yang sangat relevan, tetapi tidak bisa memutuskan yang mana yang akan dipakai. Saat diingatkan arbiter untuk bersegera memberikan jawaban, si mahasiswa menjelaskan sebagai berikut:
"Pertama-tama, ambillah barometer dan bawalah sampai ke atap pencakar langit. Lemparkan ke tanah, lalu ukurlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tanah. Ketinggian bangunan bisa dihitung dari rumus H = 0.5g x t kwadrat. Tetapi khan sayang barometernya jadi pecah."
"Atau, bila matahari sedang bersinar, anda bisa mengukur tinggi barometer, tegakkan di atas tanah, dan ukurlah panjang bayangannya. Setelah itu, ukurlah panjang bayangan pencakar langit, sehingga hanya perlu perhitungan aritmatika proporsional secara sederhana untuk menetapkan ketinggian pencakar langitnya."
"Tapi kalau anda betul-betul ingin jawaban ilmiah, anda bisa mengikat seutas tali pendek pada barometer dan menggoyangkannya seperti pendulum. Mula-mula lakukan itu di permukaan tanah lalu di atas pencakar langit. Ketinggian pencakar langit bisa dihitung atas dasar perbedaan kekuatan gravitasi T = 2 pi akar dari (l/g)."
"Atau kalau pencakar langitnya memiliki tangga darurat di bagian luar, akan mudah sekali untuk menaiki tangga, lalu menggunakan panjangnya barometer sebagai satuan ukuran pada dinding bangunan, sehingga tinggi pencakar langit = penjumlahan seluruh satuan barometernya pada dinding pencakar langit."
"Bila anda hanya ingin membosankan dan bersikap ortodoks, tentunya anda akan menggunakan barometer untuk mengukur tekanan udara pada atap pencakar langit dan di permukaan tanah, lalu mengkonversikan perbedaannya dari milibar ke satuan panjang untuk memperoleh ketinggian bangunan."
"Tetapi karena kita senantiasa ditekankan agar menggunakan kebebasan berpikir dan menerapkan metoda-metoda ilmiah, tentunya cara paling tepat adalah mengetuk pintu pengelola gedung dan mengatakan: 'Bila anda menginginkan barometer baru yang cantik ini, saya akan memberikannya pada anda jika anda memberitahukan kepada saya berapa ketinggian pencakar langit ini."
Melihat jawaban yang diberikan kepada arbiter, semua orang sadar bahwa mahasiswa ini tidak bodoh, tetapi pertanyaan penguji telah menggiringnya kearah jawaban yang tidak dikehendaki penguji.
Mahasiswa itu adalah Niels Bohr, warga Denmark genius yang kelak akan memenangkan hadiah Nobel untuk bidang Fisika.